Selasa, 16 April 2013

Pemikiran Politik Barat


KONTRIBUSI WARISAN INTELEKTUAL PERADABAN YUNANI-ROMAWI, JUDEO-KRISTIANI DAN ISLAM
Ada tiga peradaban yang mempunyai peranan penting terhadap tradisi keilmuan dan pemikiran politik barat: Yunani-Romawi, Judeo-Kristiani dan Islam. Arnold Toynbee berpendapat bahwa peradaban Barat dewasa ini lahir dari puing-puing kehancuran peradaban Yunani-romawi. Toynbee bearsumsi bahwa suatu peradaban tak ubahnya seperti makhluk organis; lahir, berkembang dan matang yang pada akhirnya mengalami proses pembusukan. Kelahiran kembali peradaban dapat disimbolkan dengan Yin-YangaYin yang mendorong munculnya kreatifitas Yang, disertai dengan adanya disintegrasi kembali kesuatu Yin yang baru. Teori tantangan response oleh Toynbee menyatakan bahwa adanya kekuatan sejarah memungkinkan terjadinya kelahiran kembali sebuah peradaban, dimana adanya kaum minoritas yang kreatif yang mampu merespon secara positif berbagai tantangan lingkungan. Blum, Camerun dan Barnes berpendapat bahwa suatu peradaban lahir dan ditransmisikan melalui proses-proses sosial.
Roger Ganuardy menyatakan bahwa ada tiga pilar peradaban barat (Yunani-Romawi, Judio-Kristiani dan Islam).
-          Kontribusi PeradabanYunani-Romawi
Barat berhutang budi kepada peradaban Yunani-Romawi, dimana dewasa ini pandangan hidup barat pada satu sisi bisa dilihat sebagai pandangan hidup orang-orang yunani seperti cita-cita, kebebasan, optimisme, sekularisme, pengagungan terhadap jasmani dan akal serta pengkulturan pada individualism. Tradisi keagamaan barat pun memantul pada tradisi keagamaan Yunani-kuno yang memandang agama sepenuhnya bersifat duniawi, praktis, mengabdi pada kepentingan manusia bukan Tuhan. Gagasan barat mengenai negara, kekuasaan politik, keadilan dan demokrasi secara intelektual bisa dilacak dari tradisi politik Yunani Klasik yang dinamakan polis atau city states. Sumbangan terbesar peradaban Romawi terhadap Barat yaitu pada bidang hukum dan lembaga-lembaga politik. Tradisi keilmuan Yunani-Romawi telah memberikan Barat metode-metode eksperimental dan spekulatif yang peranannya sangat fundamental empirisme dan rasionalisme. Ada tiga bentuk pemikiran hukum Romawi yang mempengaruhi pemikiran hukum Barat Ius Civile, Ius Gentium dan Ius Naturale. Romawi membuat pemikiran spekulatif Yunani yang bisa diterapkan. Dari segi pemikiran politik, Romawi membrikan pemahaman kepada Barat tentang teori imperium. Berupa kekuasaan dan otoritas negara, equal rights (hak persamaan politik), governmental contract (kontrak pemerintah).
-          Kontribusi Judio-Kristiani
Orang-orang Yahudi adalah “the historic people” (Max Diamont). Peran Yahudi dimulai ketika mereka berdiaspora keberbagai penjuru Eropa dan imperium Islam. Di Spanyol melahirkan filosof terkemuka Yahudi, Musa IbnuMaimun (Maimonides). Karya-karya Maimonides mempengaruhi secara signifikan perkembangan pemikiran filsafat dan agama di Barat. Selain itu orang-orang Yahudi juga berperan dalam proses kelahiran peradaban reinaisans Eropa. Di abad XVIII terjadi kontaki ntelektual antara pemuda-pemudat erpelajar Yahudi dengan peradaban Yunani-Romawi dan Islam. Di abad XIX dan XX, minoritas Yahudi Eropa telah melahirkan tokoh-tokoh besar di berbagai bidang pengetahuan dan filsafat. Pada abad pertengahan mulai dibangunnya universitas-universitas, katedral gothic, kota-kota baru, parlemen serta tumbuhnya Negara bangsa (nation-state) peran pemuka agama Kristen sangat penting. Organisasi gereja merupakan ‘elan vital’ abad pertengahan Gereja mengambil alih banyak fungsi penting imperium dan membantu mengendalikan berbagai kekacauan social akibat kehancuran imperium Romawi. Sumbangan penting Kristen lainnya adalah merintis Barat untuk melahirkan ‘kebangkitan nalar’ pada abad XII dan XIII Puncak sumbangan agama Kristen kepada Barat adalah peranan agama ini dalam melahirkan gerakan reformasi Protestan. Dasar pemikiran protestan adalah ajaran tentang etika kerja atau etos kapitalisme yang dirumuskan oleh Max Weber, yang menurutnya terdapat pertautan khusus antara etika Kristiani dengan semangat (etos) Kapitalisme. Doktrin reformasi Protestan berdampak luas pada perilaku orang-orang Kristen di Barat. Etika protestan telah dijadikan dasar doktrin bagi perkembangan kapitalisme eropa.
-          Kontribusi Peradaban Islam terhadap Barat
Begitu kuatnya peradaban Yunani-Romawi terhadap peradaban Islam sampai lahir asumsi bahwa peradaban Islam hanya copy atau “kelahiran kembali” dari peradaban Yunani-Romawi tapi plus kepercayaan pada keesaan Tuhan. Namun hal ini masih menimbulkan pertanyaan akan kebenaran bagi sebagian orang. Memang tidak dapat dipungkiri dalam peradaban Islam terdapat pengaruh Yunani-Romawi karena kontribusi warisan Islam yang diadopsi oleh barat terjadi justru melaui karya-karya pemikir Islam yang menerima pengaruh perdaban Yunani-Romawi. Menurut J.B Bury, Barat berhutang budi pada Islam dalam bidang filsafat Rasionalisme. Barat mengenal rasionalisme setelah terjadi gelombang pengaruhi ntelektual dari Dunia Islam pada akhir abad XII. Sebelum abad XIII, pemikiran dan tradisi kelimuan Barat sulit dikatakan modern dan progresif. Eropa mulai mengalami proses pencerahan intelektual (intellectual enlightenment) setelah terjadi kontak dan interaksi intensif dengan peradaban Islam. Selama tujuh abad (VIII-XV), peradaban Islam Spanyol secara gemilang berhasil mentrasmisikan kebesarannya kepenjuru Eropa. Zaman Renaisans tidak mewarisi secara langsung ajaran-ajaran yunani. Perpindahan peradaban ke Barat dari Islam Spanyol karena program penerjemahan buku yang dilakukan atas perintah Alphonse X Raja Castille. Di masjid Al-Qarawiyyin (Maroko), Paus Sylvester II menimba ilmu matematika dan lalu menyebarkannya di gereja-gereja Eropa.
SOCRATES
Socrates lahir di Athena pada tahun 470 sebelum Masehi dan meninggal pada tahun 399 SM. Masa hidupnya hampir sejalan dengan perkembangan sufisme di Athena. Socrates bergaul dengan semua orang, tua dan muda, kaya dan miskin. Ia seorang filosof dengan coraknya sendiri. Ajaran filosofinya tak pernah dituliskannya, melainkan dilakukannya dengan perbuatan, dengan cara hidup. Socrates tidak pernah menuliskan filosofinya. Jika ditilik benar-benar, ia tidak mengajarkan filosofi, melainkan hidup berfilosofi. Bagi dia filosofi bukan isi, bukan hasil, bukan ajaran yang berdasarkan dogma, melainkan fungsi yang hidup. Filosofinya mencari kebenaran. Oleh karena ia mencari kebenaran, ia tidak mengajarkan. Ia bukan ahli pengetahuan, melainkan pemikir. Oleh karena Socrates tidak menuliskan filosofinya, maka sulit sekali mengetahui dengan kesahihan ajarannya. Ajarannya itu hanya dikenal dari catatan-catatan murid-muridnya, terutama Xenephon dan Plato. Catatan Xenephon kurang kebenarannya, karena ia sendiri bukan seorang filosof. Untuk mengetahui ajaran Socrates, orang banyak bersandar kepada Plato. Dalam uraian-uraian Plato, yang kebanyakan berbentuk dialog, hampir selalu Socrates yang dikemukakannya. Ia memikir, tetapi keluar seolah-olah Socrates yang berkata. Tujuan filosofi Socrates ialah mencari kebenaran yang berlaku untuk selama-lamanya. Di sini berlainan pendapatnya dengan guru-guru sofis, yang mengajarkan, bahwa semuanya relatif dan subyektif dan harus dihadapi dengan pendirian yang skeptis. Socrates berpendapat, bahwa kebenaran itu tetap dan harus dicari.
Dalam mencari kebenaran itu ia tidak memikir sendiri, melainkan setiap kali berdua dengan orang lain, dengan jalan tanya jawab. Dalam berjuang mencari kebenaran yang umum lakunya, yaitu mencari pengetahuan yang sebenar-benarnya, terletak seluruh filosofinya.
Oleh karena Socrates mencari kebenaran yang tetap dengan tanya-jawab sana dan sini, yang kemudian dibulatkan dengan pengertian, maka jalan yang ditempuhnya ialah metode induksi dan definisi. Kedua-duanya itu bersangkut-paut. Induksi menjadi dasar definisi. Induksi yang menjadi metode Socrates ialah memperbandingkan secara kritis. Ia tidak berusaha mencapai dengan contoh dan persamaan, dan diuji pula dengan saksi dan lawan saksi. Pengertian yang diperoleh itu diujikan kepada beberapa keadaan atau kejadian yang nyata. Apabila dalam pasangan itu pengertian tidak mencukupi, maka dari ujian itu pengertian dicari perbaikan definisi. Definisi yang tercapai dengan cara begitu diuji pula sekali lagi untuk mencapai perbaikan yang lebih sempurna. Demikianlah seterusnya. Begitulah cara Socrates mencapai pengertian. Dengan melalui induksi sampai kepada definisi. Definisi yaitu pembentukan pengertian yang umum lakunya. Induksi dan definisi menuju pengetahuan yang berdasarkan pengertian.
PLATO
Plato lahir pada tahun 428/7 sebelum masehi dari keluarga terkemuka di Athena. Dari pergaulan dengan para politikus, Plato akhirnya menelurkan sebuah pemikiran bahwa pemimpin suatu negara haruslah seorang filusuf, hal ini dilontarkan karena kekecewaannnya atas kepemimpinan para politikus yang ada pada saat itu, terutama yang berkaitan dengan kematian gurunya, yaitu Socrates, di persidangan yang berakhir pada kematian gurunya tersebut. Dalam menerangkan idea ini Plato menerangkan dengan teori dua dunianya, yaitu dunia yang mencakup benda-benda jasmani yang disajikan pancaindera, sifat dari dunia ini tidak tetap terus berubah, dan tidak ada suatu kesempurnaan. Dunia lainnya adalah dunia idea, dan dunia idea ini semua serba tetap, sifatnya abadi dan tentunya serba sempurna. Idea mendasari dan menyebabkan benda-benda jasmani. Hubungan antara idea dan realitas jasmani bersifat demikian rupa sehingga benda-benda jasmani tidak bisa berada tanpa pendasaran oleh idea-idea itu. Hubungan antara idea dan realitas jasmani ini melalui 3 cara, pertama, idea hadir dalam benda-benda konkrit. Kedua, benda konkrit mengambil bagian dalam idea, disini Plato memperkenalkan partisipasi dalam filsafat. Ketiga, Idea merupakan model atau contoh bagi benda-benda konkrit.
Menurut Plato negara terbentuk atas dasar kepentingan yang bersifat ekonomis atau saling membutuhkan antara warganya maka terjadilah suatu spesialisasi bidang pekerjaan, sebab tidak semua orang bisa mengerjakaan semua pekerjaan dalam satu waktu. Polis atau negara ini dimungkinkan adanya perkembangan wilayah karena adanya pertambahan penduduk dan kebutuhanpun bertambah sehingga memungkinkan adanya perang dalam perluasan ini.
Dalam menghadapi hal ini maka di setiap negara harus memiliki penjaga-penjaga yang harus dididik khusus.

ARISTOTELES
Aristoteles lahir di Stagira, kota di wilayah Chalcidice, Thracia, Yunani (dahulunya termasuk wilayah Makedonia Tengah) tahun 384 SM. Ayahnya adalah tabib pribadi Raja Amyntas dari Makedonia. Pada usia 17 tahun, Aristoteles bergabung menjadi murid Plato. Belakangan ia meningkat menjadi guru di Akademi Plato di Athena selama 20 tahun. Aristoteles meninggalkan akademi tersebut setelah Plato meninggal, dan menjadi guru bagi Alexander dari Makedonia. Saat Alexander berkuasa di tahun 336 SM, ia kembali ke Athena. Dengan dukungan dan bantuan dari Alexander, ia kemudian mendirikan akademinya sendiri yang diberi nama Lyceum, yang dipimpinnya sampai tahun 323 SM. Filsafat Aristoteles berkembang pada waktu ia memimpin Lyceum, yang mencakup enam karya tulisnya yang membahas masalah logika, yang dianggap sebagai karya-karyanya yang paling penting, selain kontribusinya di bidang metafisika, fisika, etika, politik, kedokteran dan ilmu alam.
Di bidang ilmu alam, ia merupakan orang pertama yang mengumpulkan dan mengklasifikasikan spesies-spesies biologi secara sistematis. Karyanya ini menggambarkan kecenderungannya akan analisa kritis, dan pencarian terhadap hukum alam dan keseimbangan pada alam. Plato menyatakan teori tentang bentuk-bentuk ideal benda, sedangkan Aristoteles menjelaskan bahwa materi tidak mungkin tanpa bentuk karena ia ada (eksis). Selanjutnya ia menyatakan bahwa bentuk materi yang sempurna, murni atau bentuk akhir, adalah apa yang dinyatakannya sebagai theos, yaitu yang dalam pengertian Bahasa Yunani sekarang dianggap berarti Tuhan. Logika Aristoteles adalah suatu sistem berpikir deduktif (deductive reasoning), yang bahkan sampai saat ini masih dianggap sebagai dasar dari setiap pelajaran tentang logika formal. Meskipun demikian, dalam penelitian ilmiahnya ia menyadari pula pentingnya observasi, eksperimen dan berpikir induktif (inductive thinking). Di bidang politik, Aristoteles percaya bahwa bentuk politik yang ideal adalah gabungan dari bentuk demokrasi dan monarkhi. Karena luasnya lingkup karya-karya dari Aristoteles, maka dapatlah ia dianggap berkontribusi dengan skala ensiklopedis, dimana kontribusinya melingkupi bidang-bidang yang sangat beragam sekali seperti fisika, astronomi, biologi, psikologi, metafisika (misalnya studi tentang prisip-prinsip awal mula dan ide-ide dasar tentang alam), logika formal, etika, politik, dan bahkan teori retorika dan puisi.
Meskipun sebagian besar ilmu pengetahuan yang dikembangkannya terasa lebih merupakan penjelasan dari hal-hal yang masuk akal (common-sense explanation), banyak teori-teorinya yang bertahan bahkan hampir selama dua ribu tahun lamanya. Hal ini terjadi karena teori-teori tersebut karena dianggap masuk akal dan sesuai dengan pemikiran masyarakat pada umumnya, meskipun kemudian ternyata bahwa teori-teori tersebut salah total karena didasarkan pada asumsi-asumsi yang keliru. Dapat dikatakan bahwa pemikiran Aristoteles sangat berpengaruh pada pemikiran Barat dan pemikiran keagamaan lain pada umumnya. Penyelarasan pemikiran Aristoteles dengan teologi Kristiani dilakukan oleh Santo Thomas Aquinas pada abad ke-13, dengan teologi Yahudi oleh Maimonides (1135–1204), dan dengan teologi Islam oleh Ibnu Rusyid (1126–1198). Bagi manusia abad pertengahan, Aristoteles tidak saja dianggap sebagai sumber yang otoritatif terhadap logika dan metafisika, melainkan juga dianggap sebagai sumber utama dari ilmu pengetahuan, atau "the master of those who know", sebagaimana yang kemudian dikatakan oleh Dante Alighieri.

NICCOLO MACHIAVELLI
Filosofi politik dari Machiavelli adalah nilai-nilai yang tinggi atau yang dianggap tinggi dan penting berhubungan dengan kehidupan dunia, khususnya menyangkut kemasyhuran, kemegahan serta kekuasaan belaka, karenanya sangat menolak adanya hukum alam yang berlaku secara universal bagi seluruh manusia dan umat manusia di jagat ini. Ia menolak pandangan tersebut dengan mengemukakan bahwa kepatuhan kepada hukum tersebut bahkan hukum apapun sangat tergantung apakah semua itu sesuai dengan  kekuasaan, kemasyhuran, dan kemegahan sebagai nilai-nilai tertinggi. Persoalan dasar filsafat Machiavelli adalah bagaimanakah cara seorang pemimpin itu dapat membela kekuasaannya, menjaga stabilitas keamanan negaranya dan juga kesejahteraan rakyatnya. Machiavelli adalah seorang yang realis dan tampil berhadapan dengan realitas konkret dunia politik, dunia kekuasaan dan dunia penataan negara. Menghindari keterpecahan, mencegah invasi pihak-pihak luar, mengalahkan musuh yang mengancam kekuasaan dan wibawa pemerintahan serta mempertahankan keutuhan negara dan sejenisnya adalah persoalan konkret yang dihadapi oleh Machiavelli.
Niccolo Machiavelli merupakan seorang pemikir politik dan sosial yang memberikan kontribusi besar bagi perkembangan perpolitikan di Eropa pada abad ke 15-16 M, kontribusinya yang masih dikenal hingga saat ini adalah bukunya yang berjudul “The Prince” dimana tulisan ini hadir karena pada masanya Machiavelli melihat bobroknya sistem pemerintahan yang ada disebabkan karena lemahnya penguasa pada saat sehingga tulisannya ini merupakan jawaban bagaimana seorang penguasa seharusnya bertindak agar tetap mempertahankan kekuatannya sebagai seorang penguasa. Menurut Machiavelli seorang pemimpin bertindak berdasarkan kondisi lingkungan sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa pemimpin tersebut akan melakukan hal-hal negatif. Selain itu, menurut Machiavelli seorang penguasa harus memiliki sifat-sifat positif dan negatif hanya jika itu dibutuhkan sehingga ini akan menjadi seorang penguasa yang kuat dan dapat membawa negaranya menjadi negara yang unggul, maju dan besar. Dengan demikian dapat kita ambil benang merah dari pemikiran Machiavelli bahwa selayaknya seorang pemimpin harus dapat bersikap fleksibel sehingga dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan sekitar sehingga ia dapat terus bertahan dan selain itu ia juga memiliki sifat-sifat positif maupun negatif yang diperlukan untuk memajukan negaranya.

THOMAS HOBBES
Filsafat Hobbes merupakan suatu upaya untuk memasukkan ilmu jiwa ke dalam ilmu fisika yang eksak. Ia berpendapat bahwa segala sesuatu di dunia ini, termasuk juga manusia, terdiri atas bagian-bagian yang bergerak menurut hukum mekanisme yang telah pasti. Mengenai ilu pengetahuan, Hobbes menganggapnya sebagai suatu mekanisme pengguanaan akal dan penggunaan metode matematika. Dari Galileo Galilei Hobbes mendapatkan inspirasi mengenai penggunaan pendekatan dalam mempelajari manusia dan masyarakat. Dari prinsip gerak Galileo dalam memahami alam semesta, ini memmpengaruhi alat-alat mekanis, namun manusia itu merupakan mesin-mesin yang berpikir. Akal telah menyebabkan mmanusia mecari alasan-alasan rasional untuk tidak saling menghancurkan. Hobbes adalah pelopor individualisme modern. Konsep-konsep politik hobbes mengarah pada bentuk negara yang alinag ekstrim yakni kekuasaannya tidak terbatas. Hobbes megnakui adanya kekuasaan negara yang tidak terbatas, namun tetap ada wilyah private yang bebas intervensi negara, wilayah private yan gdimaksudkan adalah hak untuk melindungi diri. Hobbes menyatakan lebih baik pemerintahan yang tiran daripada pemerintahan yang anarki. Menghancurkan pemikrian teokratis yang meihat bahwa kekuasaan bukan lagi bersumber pada tuhan, tetapi bersumber pada masyarakat.
Thomas Hobbes mengemukakan ajarannya tentang negara dalam Leviathan. Manusia pada dasarnya egois, bagaimana kehidupan masyarakat itu menjadi mungkin di antara makhluk-makhluk yang keji dan bengis. Asumsi yang digunakan Hobbes untuk membangun konsepsinya tentang kekuasaan adalah bahwa manusia pada dasarnya tidak memiliki hakikat sosial. Secara alamiah, manusia adalah makhluk yang secara terus menerus selalu ingin berusaha memenuhi segala hasrat dan keinginannya. Menurut Hobbes, kehidupan manusia adalah sebuah hasrat abadi dan tak kunjung padam untuk meraih kekuasaan demi kekuasaan, yang berhenti hanya dalam kematian. Dalam keadaan seperti ini, maka manusia akan selalu berada dalam kondisi berkonflik. Hal ini setidaknya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, manusia harus berjuang untuk sumber-sumber yang langka. Kedua, mereka harus mempertahankan diri mereka sendiri dan mencegah orang lain untuk merampas kekuasaan yang sudah mereka himpun. Ketiga, bahkan jika sumber-sumber tidak langka dan harta benda manusia terjamin, mereka mencari perasaan superioritas yang berasal dari pemilikan kekuasaan atas orang lain.

JOHN LOCKE
Filosofi politik John Locke adalah kekuasaan merupakan hasil perjanjian sosial (the contract social) dan tidak bersifat mutlak. Oleh sebab itu, kekuasaan bukan berasal dari Tuhan, tidak datang dengan cara turun-temurun, dan juga kekuasaan bukan atas dasar teks kitab suci. Pembatasan kekuasaan menjadi sangat penting, sebab kekuasaan dari kesepakatan warga dengan penguasa negara yang dipilihnya. Kekuasaan bukan hal alamiah patriarki, sekalipun kekuasaan bersifat patriarkis baginya tetap saja ada batasnya. Hal penting dalam filosofi Locke adalah manusia memiliki kemampuan yang sama untuk mengetahui hukum moral. Otonomi moral berdampak pada adanya keharusan semua manusia memiliki otoritas yang setara. Hal lain yang penting berkaitan dengan prinsip kepercayaan akan kompetisi kebijakan, gagasan radikal dirinya. Filosofi politik Locke merupakan satu upaya untuk mengintegrasikan dari apa yang ada di masa lalu dengan yang kemudian serta untuk mendapatkan esensi dari kesepakatan terhadap orang-orang yang paham, namun ia tidak melakukan sintesis dari semua yang digabungkan.
Pandangan Locke tentang negara terdapat di dalam bukunya yang berjudul (Two Treatises of Civil Government). Pandangan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa monarkhi absolut merupakan bentuk pemerintahan paling sesuai dengan kodrat hukum alam karena tiga alasan. Pertama, monarki absolut berakar pada tradisi otoritas paternal. Kedua, sistem pemerintahan monarki absolut merupakan penggandaan Kerajaan Tuhan di muka bumi. Ketiga, monarki absolut merupakan cerminan kekuasaan tunggal Tuhan atas segala sesuatu di dunia ini. Sementara itu, Locke hadir sebagai penentang gigih terhadap monarki absolut di negaranya. Locke menganggap bahwa monarki absolut bertentangan dengan prinsip civil society yang diyakininya. Civil society yaitu bentuk masyarakat yang merupakan gugatan terhadap institusi superiort yang semula diciptakan untuk mengatasi supremasi naturalistik, membatasi wilayah dan ruang geraknya.

MONTESQUIEU
Esensi dari gagasan Montesquieu mengenai tiga pilar pembagian kekuasaan atau tiga pilar supra struktu politik dari suatu pemerintahan negara berkaitan erat dengan kemerdekaan, yakni untuk menjamin adanya kemerdekaan. Makna kemerdekaan bagi Montesquieu adalah bentuk ketentraman hati yang ditimbulkan dari rasa keamanan diri, dimana seseorang tidak merasa takut dihadapan yang lain, pemerintah mengadakan suasana yang demikian. Rasa aman, ketentraman dan kedamaian menurut Montesquieu adalah undang-undang alam. Menurut Montesquieu, hukum sebenarnya memiliki pengertian yang amat luas, bersikap kompleks, berkembang, berubah, dan segala hubungan yang mungkin ada yang dapat dibayangkan antara manusia adalah hukum. Oleh sebab itu, hukum dalam pengertian yang luas menyebabkan perbedaan antara masyarakat yang satu dengan yang lain, maka hukum juga meliputi adat kebiasaan. Bedanya manusia dengan undang-undang alam adalah terletak kepada kemauan, manusia berkemauan dan dapat mengadakan perubahan.
Tiga pilar supra struktur, apabila kekuasaan legislatif dan eksekutif disatukan pada tangan yang sama tidaklah mungkin ada satu kemerdekaan bila kekuasaan yudikatif tidak dipisahkan dengan lembaga eksekutif dan legislatif. Penggabungan tiga pilar supra struktur hanya memberikan penguasa negara dengan pengelolaan negara sesuka hati, dan hakim akan menjadi bagian yang turut membuat undang-undang. Terdapat perbedaan tipe pemerintahan menurut Montesquieu, yaitu repubik, monarki, dan despotisme.“Republik”, dihubungkan erat dengan demokrasi, rakyat berpegang pada kebajikan, dan baginya adalah kejujuran, patriotisme, dan kecintaan terhadap persamaan. Rakyat memiliki kekuasaan tertinggi, yakni demokrasi dalam demokrasi rakyat berdaulat dalam hal tertentu dan merupakan kaula dalam hal tertentu. Dimata Montesquieu bentuk republik merupakan yang terbaik, sebab rakyat pemegang kedaulatan tertinggi. “Monarki”, pada tipe ini kehormatanlah yang jadi pegangan. Sedangkan ambisi memberikan pengaruh terhadap semangat bagi pemerintah. Dalam monarki kekuasaan diperintah beberapa orang aristokrasi. Model negara Montesquieu mengacu pada monarki yang terdapat di Eropa, khususnya di Inggris dan Perancis. Rusaknya negars monarki apabila kaum bangsawan sewenag-wenag melanggar hukum, prinsip-prinsip kenegaraan dilangga, melakukan perubahan-perubahan tradisi yang telah mapan, penguasa memiliki egosentris yang demikian kuat menyamakan ibu kota negaradengan negara, dan menyalahgunakan wewenang terhadap rasa cinta kepada rakyat serta tidak percaya diri bahwa dirinya aman merupakan faktor lain yang dapat menghancurkan monarki. “Despotisme”, masyarakat yang berdasar depotisme akan melahirkan rasa takut, disebabkan gangguan dari si despot, yakni penguasa yang sewenang-wenang. Namun, Montesquieu menolak adanya despotisme dalam trias politikanya. Despoti merupakan bentuk negara terburuk. Sebuah negara yang diperintah oleh satu orang yang menentukan segalanya sesuatu dengan atas dasar kemauannya sendiri. Montesquieu memberi contoh sejumlah negara despotis yang ada di Asia, seperti China, Jepang, dan India.

JOHN STUART MILL
Bisa dilihat dengan jelas bagaimana penjelasan dari beberapa gagasan pemikiran John Stuat Mill mengacu terhadap perluasan kepribadian individu. Dalam gagasan utilitarianismenya, Mill mencoba menyimpulkan gagasan dari Jeremy Bentham. Perbedaan dari kedua tokoh tersebut terletak pada kuantitas dan kualitas. Secara umum etika utilitarianisme Mill berbeda dengan para pendahulunya, yaitu:Pertama, Mill tidak hanya membedakan kenikmatan menurut jumlahnya, melainkan juga menurut sifatnya. Sifat ini tidak hanya menyangkut keadaan-keadaan yang bersifat tambahan, seperti mahal, berharga, dan sebagainya, melainkan juga terutama yang bersifat hakiki, kenikmatan yang satu pada hakikatnya lebih bernilai dibandingkan dengan kenikmatan lainnya. Dalam arti, Mill menganggap bahwa kenikmatan-kenikmatan memiliki tingkatan kualitas, karena ada kesenangan yang lebih tinggi mutunya dan ada yang lebih rendah. Kesenangan manusia harus lebih tinggi dari kesenangan hewan, tegasnya kesenangan orang seperti Socrates lebih bermutu daripada kesenangan orang tolol. Sedangkan Bentham menyatakan bahwa kenikatan pada hakikatnya sama, satu-satunya aspeknya yang berbeda adalah kuantitasnya. Bukan saja the greatest number tapi juga the greatest happiness dapat diperhitungkan. Kedua, Mill mengedepankan pada watak sosial. Artinya kebahagiaan yang menjadi norma etis adalah kebahagiaan semua orang yang terlibat dalam suatu kejadian, bukan kebahagiaan satu orang saja yang barangkali bertindak sebagai pelaku utama. Raja dan seorang bawahan dalam hal ini harus diperlukan sama. Kebahagiaan satu orang tidak pernah boleh dianggap lebih penting daripada kebahagiaan orang lain. Menurut perkataan Mill sendiri; everybody to count for one, nobody to count for more than one. Dengan demikian suatu perbuatan dinilai baik, jika kebahagiaan melebihi ketidakbahagiaan, di mana kebahagiaan semua orang yang terlibat dihitung dengan cara yang sama.
Etika Utilitarianisme muncul pada abad ke 19 sebagai reaksi penolakan terhadap belenggu paham hukum alam yang berkembang pesat pada saat itu. Kemunculannya dipelopori David Hume, tetapi disempurnakan dalam sebuah teori baku oleh Jeremy Betham dan tokoh yang paling berpengaruh dalam utilitarianisme adalah John Stuart Mill, yang berhasil merekonstruksi kelemahan-kelemahan mendasar paham Utilitarianisme, sehingga dapat menjawab kritikan-krtitikan dari para penentang Utilitarianisme. Utilitarianisme menggunakan utility (manfaat) atau the greatest happiness (kebahagiaan terbesar) sebagai dasar moralitas. Tetapi tolak ukur moralitas kebahagian utilitarianisme Mill bukan kebahagian pelaku saja, melainkan demi kebahagiaan semua. Artinya, agar pelaku berlaku berposisi netral dengan tidak berpihak, dalam memilih antara kebahagiaannya sendiri dan kebahagiaan orang lain. Di samping itu, kebahagiaan tersebut memiliki kualitas, karena ada kebahagiaan yang bermutu dan ada yang tidak. Kebahagiaan manusia dinilai lebih bermutu atau tinggi dibandingkan dengan kebahagiaan hewan. Utilitarianisme menjebak manusia masuk dalam perangkap konsekuensialisme dan Welfarisme, karena terlalu menekankan kegunaan, manfaat keuntungan, sebagai kriteria untuk menilai baik dan buruknya perbuatan, memperhatikan akibat dan bukan hakikat perbuatan. Dan berpotensi mendorong tumbuhnya mentalitas Instan, langsung (immediate), dan berfikiran dan pandangan pendek (short sight).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar